Sabtu sore, 21 Maret 2009, saya bertugas mencari tambahan pernak-pernik untuk hantaran lamaran adik saya tercinta. Seharian itu saya, Sasha, Akung dan Nenek juga belanja keperluan lamaran. Mulai mampir ke kantor saya untuk ambil baju, beli buah di Pancoran dan ke Makro. Setelah itu, saya sendirian cari pita ke Citos.
Di Citos saya langsung menuju tempat servis gift wrapping. Setelah dapat pita yang saya maksud, saya mampir ke favorite spot saya di Citos, the Coffee Bean and Tea Leaf CafĂ©. Dengan ditemani kopi dan cheese cake, saya mulai mengembara… Iya, mengembara dalam pikiran saya dan merasakan tiap rasa yang ada.
Saya mulai dari apa yang saya rasakan saat saya melangkahkan kaki di Citos sore itu.
Sore itu adalah kunjungan pertama saya sejak Ayah tiada. Moment terakhir saya dengan Ayah pun terjadi di sana. Tanggal 30 Desember 2008, tepatnya, di restoran Churrasco. Saya dan Ayah berkencan di sana. Ngobrol panjang lebar tentang masa depan kami. Obrolan yang jarang kami lakukan setelah kami sama-sama di Jakarta.
So, Sabtu sore kemarin, kembali ke Citos adalah suatu langkah yang butuh kekuatan ekstra buat saya. Tapi kenapa saya pilih Citos, instead of other place? Well, it’s part of my therapy, hehehehhe…
Memang sejak hari Kamis yang lalu, saya sempatkan untuk mampir ke tempat-tempat favorit saya di Jakarta yang sudah saya datangi bersama Ayah. Saya sempatkan untuk duduk sejenak di sana dan merasakan semua gelombang perasaan yang datang. Saat semua kenangan bersama Ayah melintas, rasanya sakit luar biasa, rasanya air mata tak tertahankan di menit-menit pertama itu. Tapi, setelah rasa sakit itu, ada kebahagiaan yang terselip, yang mau tak mau, menerbitkan senyum saya. Dan setelah emosi itu saya biarkan ada, perlahan-lahan, saya pun mulai tenang. Saya ijinkan kenangan itu bermain dalam benak saya, mengingatkan saya pada Ayah, dan saya ijinkan pula diri saya untuk merasakan rindu yang teramat sangat padanya. Then, I can enjoy myself being there, in the place, full of memory. Saya tidak mau kehilangan tempat favorit saya karena Ayah sudah tidak ada. Saya ingin bisa berada di sana, menikmati kesendirian saya, ditemani kenyataan bahwa saya sudah tidak bersama Ayah lagi.
Kembali ke Citos, saat melewati Churrasco yang tutup (entah karena renovasi atau memang tutup), rasanya hati saya mencelos. Saya kecewa karena tidak bisa melihat tempat duduk yang saya dan Ayah duduki. Air mata sudah mulai merebak, tapi saya bisa atasi. Lucu juga kan kalo tiba-tiba saya nangis di depan restoran yang tutup, hehehe. Saya kemudian melanjutkan perjalanan saya. Masuk ke Coffee Bean, yang sore itu penuh dengan orang, gelombang emosi itu datang lagi. Saya pilih tempat saya dan Ayah pernah duduki, sambil sedikit tersenyum membayangkan kata-kata Ayah kalau dia ada di situ. Dia tidak pernah suka Coffee Bean dan Citos dan tempat hang out modern mana pun. Dia bilang…hedon banget, tidak merakyat, semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. Hehehe, itulah perbedaan mendasar antara Ayah dan saya. Ayah yang sederhana dan ramah tamah yang butuh orang untuk bicara, sementara saya yang autis (hehehe) lebih suka tenggelam dalam pikiran saya sendiri.
Ditemani kopi dan cheese cake, saya mulai mengamati orang-orang di dalam kafe dan sesekali mengamati orang yang melintas di depan kafe. Lagi, di menit-menit pertama, saya harus mengatasi rasa sedih saat saya teringat Ayah. Tapi, melihat orang-orang yang sibuk ngobrol dengan teman, suami, istri atau anak-anaknya, saya pun bisa menguasai diri lagi. Saya terhanyut melihat mereka, ikut tersenyum saat mereka tersenyum, ikut tertawa saat melihat ibu yang kerepotan dengan ulah anaknya, ikut geli melihat seorang gadis cilik yang cantik lewat di depan kafe dengan baby sitternya, mengingatkan saya pada Sasha. Saya menikmati semuanya dan saya ijinkan diri saya lagi untuk merasakan kerinduan saya pada Ayah.
Selagi menikmatinya, saya sesekali memeriksa sms. I love being alone, but I love to share it too, hehehehe… Biasanya, kalau sedang jalan berdua dengan Ayah dan saya mulai masuk ke dunia saya sendiri, Ayah juga akan menikmati suasana yang ada atau mulai pegang hape dan bertelepon ria. Yang menyenangkan kalau pergi sama Ayah adalah dia selalu bertemu dengan temannya (dimanapun dia berada,hehehehehehe). Kalau sudah bertemu, pasti akan ada sekelumit obrolan asyik di antara mereka dan saya pun menikmatinya, menikmati alunan kata yang diucapkan walau seringkali saya tidak paham (biasanya pake bahasa Semarang banget) dan meresapi emosi mereka. So, sore itu, dalam kesendirian saya, saya ingin ditemani. Ditemani untuk menyendiri, hehehehehe. (Later on, my noon is so complete. Thanks for the accompany, I should say, and for the surprise too )
Ditemani kopi dan cheesecake, saya banyak menemukan hal baru dalam hidup saya. Ditinggal Ayah memaksa saya untuk berubah menjadi lebih dewasa. Saya dipaksa berkompromi dengan apa-apa yang tadinya saya pilih untuk tidak saya pedulikan. Saya dipaksa mengerjakan apa-apa yang saya tidak suka. Saya dipaksa bertumbuh. One of the bright sides, saya baru menyadari bahwa Ayah sudah berhasil mengajari saya menjadi lebih dewasa. Saya sedih karena Ayah tidak melihat keberhasilan ini. Saya sedih karena selama ini belum bisa jadi yang cukup baik untuknya. Tapi saya bangga padanya. Bangga sekali.
Sore itu, ditemani kopi dan cheesecake, saya berhadapan dengan kenyataan. Suka tidak suka, I’m on my own lagi saat ini. Saya masih harus hadir di setiap pesta pernikahan teman-teman saya yang beraroma “love in the air” sementara saya datang sendiri tanpa membawa cinta, hehehe. Saya masih harus menghadapi lamaran adik yang lagi-lagi penuh aroma cinta, sendirian, tanpa cinta saya yang harusnya bertugas untuk mendokumentasikan acara bersejarah ini, hehehehe. Saya masih harus berhadapan dengan Sasha yang sangat mirip dengan Ayahnya (terutama bibir dan matanya) dan pertanyaan ajaibnya. Saya yang, suka tidak suka, adalah tetap seorang “menantu” dan “ipar” lengkap beserta tanggung rentengnya . Semua tidak akan berhenti terjadi dengan sepeninggal Ayah dan saya harus menghadapinya.
So, sore itu, ditemani kopi dan cheese cake, saya menemukan diri saya yang, surprisingly, adalah seseorang yang baru, penuh dengan modifikasi dibanding yang lalu. Saya menemukan diri saya versi lebih dewasa (sedikit) dibanding versi lama. Jujur, saya tidak terlalu suka dengan perubahan ini, but hey, nobody like to be an adult, hehehe.
Yang jelas, saya akan lebih lunak pada diri saya sendiri dan lebih jujur atas perasaan saya, saya akan biarkan ups and downs datang pada saya dan menerimanya dengan lapang dada. Saya mungkin akan menjadi lebih berkompromi dan lebih banyak menangis serta menulis dalam bahasa Inggris, hehehhe (sore itu saya baru menyadari, kalo saya emosi, saya lebih suka menuliskannya dalam bahasa Inggris, rasa bahasanya lebih mewakili perasaan saya).
Well, it’s me… a new me…
hanya sekedar menulis untuk membagi rasa yang ada.
Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membantu saya untuk menjalani proses ini.
Jangan bosan untuk menemani dan mengingatkan saya.
Terima kasih, especially for you, yang sudah melengkapi sore saya. I really appreciate it.
With love,
-ika-
Ps: I miss you, Yah…
pic taken at Coffee Bean, Citos (kunjungan ayah yang pertama dan terakhir), February 2, 2005
gw tau lu pasti bisa ka....cheer up ya.....
ReplyDeletehihihi... foto Mas Riza remang-remang :)
ReplyDeleteBIG BIG HUGS ya Kaaaa :) :)
Hiks... Selamat ya mba Ika sudah berhasil menjadi pribadi yang baru...
ReplyDelete*hugs*
ikaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
ReplyDeletemaap ya kemarin capek bangettt
huhuu konsul gak berenti berenti niiihhhh
aaah... ikaaaaaaaaaa..... lewat tulisan lo yg gamblang gini.. gue jadi "kenal" elo lagi..
ReplyDeletebisa...bisaaa, mu...
ReplyDeletecuma kopi sama cheese cake aja...
bisa kok gue... :D
so, tanggal 29, di iji pija mana nih jadinya?
big hugs juga, piet
ReplyDeletemasih dalam proses, nia :)
ReplyDeletehugs lagi...
iiiiaaaaaaaannnnnnn....
ReplyDeletegak papa kok...
akhirnya gue ditemenin juga kok, hehehehe...
thanks ya... :)
arie.. :)
ReplyDelete