Monday, September 22, 2008

Anak-Anak Di Wilayah Sentinel (Risiko Tinggi)

Di bawah ini adalah tulisan ayahnya Sasha, my dearly husband, Mas Riza (i miss you so much, yah...heehehe) mengenai anak-anak di sekitar wilayah kerjanya di hotspot di kabupaten Semarang.
Kalau mau tau lebih lanjut tentang kerjanya Mas Riza ini, bisa diintip di sini
Tulisan ini dibuat dalam rangka konferensi HIV/AIDS dimana ya...lupa, kalau gak salah sih di Srilanka or Banglades ya...yang jelas tahun kemarin. Rencananya kalo lolos bisa ke sana gratis dan dapat sponsor, tulisan ini akan dipresentasikan dalam konferensi itu di hadapan hadirin dari seluruh dunia.
Tulisan ini baru berbentuk abstract dan belum jadi dibuat tulisan utuh.
Waktu itu abstract ini sudah terpilih untuk maju ke conference, sayangnya gak dapet sponsor untuk biaya berangkat ke sana. Jadi gak jadi deh,hehehe.

Kenapa tulisan ini saya buat? Well, bukan karena saya lagi kangen sama Mas Riza saja, tapi ini juga sebagian dari suara hati saya atas gembar-gembor pengesahan RUU Pornografi di luaran sana.
Saya adalah salah satu yang kontra sama RUU ini. Alasannya mungkin akan saya jabarkan di tulisan yang lain karena saya mau rapat,hehehe. Yang jelas, buat saya, negara gak perlu mikir untuk menghukum siapa yang porno atau yang tidak, lebih baik negara mikirin gimana supaya harga-harga gak selalu naik jadi semua rakyat bisa makan!

Well...gitu dulu deh pengantarnya...
Silahkan dibaca dan direnungkan...


-------------------- Anak-anak di Wilayah Sentinel ----------------

                                 by: Johan M. Riza

Saat ini epidemi HIV dan AIDS tidak saja mengintai kelompok yang beresiko tinggi akan tetapi pasangan setia dan anak pun sudah tidak terhitung lagi jumlahnya yang terinfeksi dan epidemi ini terus melaju selama belum ditemukan formula yang dapat menyembuhkan seseorang yang terinfeksi virus ini. Banyak program  yang dijalankan oleh NGOs di Indonesia di lingkungan resiko tinggi untuk memberikan perubahan perilaku sehingga dapat mencegah penyebaran HIV dan AIDS.

Saya mencoba akan menlihat satu sisi yang berbeda dari bagian komunitas yang menjadi target perubahan perilaku, yaitu sisi anak yang hidup dan berada dilingkungan resiko tinggi.

Hampir semua program yang dibiayai lembaga  donor  saat ini mengarah pada penurunan prevalensi HIV dan AIDS dan menggarap orang – orang yang berperilaku resiko tinggi saja.

Anak – anak yang saya jumpai disebuah komunitas resiko tinggi ini berjumlah 15% saja dari komunitas resiko tinggi, sebuah komunitas yang kecil yang terabaikan karena tampaknya mereka tidak memiliki arti bagi kepentingan masyarakat banyak. Mungkin saat ini mereka lolos dari status positif akan virus HIVakan tetapi kemungkinan mereka akan mewaarisi perilaku dari generasi diatas mereka sangat besar dan mereka akan masuk dalam kelompok resiko tinggi dikemudian hari.

Saya dan kawan – kawan menyebut mereka dengan anak 1000 bapak, karena tak sedikit dari ibu mereka yang tidak tahu bayi mereka ada dari hasil hubungan dengan siapa.

Anak – anak ini tidak hanya sering mendapatkan tindakan kekerasan secara langsung tetapi mereka juga menjadikan kekerasan sebuah tontonan yang setiap hari mereka saksikan dan seperti sebuah kursus singkat merekapun akan menirukan. Mereka sudah kebal dan menganggap sesuatu yang biasa melihat seorang mabuk, berjudi dan bahkan memukul satu sama lain.

Di Pulau Jawa dimana  yang terbagi menjadi 4 provinsi, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI Jakarta sebagai ibukota terdapat +  20 titik lokasi resiko Tinggi, dimana jika penghuni yang berrprofesi sebagai EMS dan FSW berjumlah 250 orang dan diambil rata – rata 15% didalamnya  adalah anak - anak , bagaimana kah perkembangan mental dan psikis mereka…?! Siapakah yang bersedia meluangkan waktu tenaga dan biaya untuk dapat memberikan sedikit pencerahan dan dorongan agar mereka dapat lebih luas lagi melihat dunia dan memiliki harapan lebih baik lagi dengan masa depannya.

Memang agak susah ketika kita mencoba mengajukan dukungan dari lembaga donor, yang pertama adalah hasil program yang tidak bisa dilihat dalam waktu singkat bahkan seolah tidak tampak nyata hasil program yang dijalankan, berbeda sekali dengan program yang hasilnya dapat terukur dengan angka sebagai standar  kerja mereka.

Saya bersama temen – teman pernah menjalankan beberapa program untuk anak – anak ini, mulai dari melihat apakah ada trauma pada diri mereka, bagaimana sikap mereka dalam komunitas sebaya berkaitan pengaruh lingkungan, Apa yang mereka harapkan atas masa depan mereka, cita – cita dan mengajarkan bermain yang berketrampilan serta hidup sehat.

Saat itu saya tidak membuat scoring untuk mengukur keberhasilan hanya mengamati reaksi mereka saat pertama kali diajak bergabung, bermain dan interaksi yang terjadi kemudian diantara mereka pasca kegiatan tersebut. Mereka rupanya sangat antusias, kepercayaan diri dapat dikembalikan, semangat bersekolah dan belajar nampak pada hari – hari berikutnya.

Inilah potret anak – anak dalam komunitas resiko tinggi yang saya sajikan pada abstrak ini.

Akankah kita berdiam diri pada mereka dan membiarkan mereka menjadi generasi kedua dari orangtua mereka??

pics taken from: www.ucc.org

6 comments:

  1. HIV/AIDS fenomena gunung es. Kalo dari SDKI secara umum menunjukkan pengetahuan ttg penyebaran HIV/AIDs masih rendah...

    ReplyDelete
  2. setuju banget ma penolakan terhadap RUU satu itu.... mbok ya di urusin yg lebih penting, knape (jadi ikutan gemesss)
    tulisannya bagus, mba, makanya kepilih ya... hebat mas Riza....
    masih kangen ya? kapan di recharged sama si mas???? :D

    ReplyDelete
  3. Jadi ceritanya LDR *Long Distance Relationship* yah Mbak Ika sama papa-nya Sha?
    ok... kembali ke laptop... anyway busway on the way, masalah ini merupakan bom waktu... sekarang masih belum atau tidak kelihatan membahayakan...jadi "mereka" para petinggi-petinggi kita belum melihat masalah ini ada... ironis....

    ReplyDelete
  4. betul, ibu...
    fenomena gunung es itu cara meng-estimasi angka sebenernya tuh: angka yang ada x 100000 kalo gak salah
    jadi kalo di laporan yang kena HIV (belum AIDS) adalah 200 orang, maka angka estimasi sebenarnya adalah 20000000 orang. Kebayang kan...
    Anak-anak yang positif HIV biasanya karena ortunya gak tau kalo dirinya positif HIV. Padahal ada kemungkinan anak tidak tertular HIV seandainya prosedur penanganannya tepat.
    Tapi orang kalo ngomong HIV/AIDS bawaannya udah ngomongin free seks dll sih, padahal di indonesia penularan terbesar adalah dari IDU (injection drug user) lho...

    ReplyDelete
  5. setuju menolak RUU!!! RUU yang gak penting banget...
    isu anak memang jarang ditangkap, mbak, padahal anak itu kan aset. kemarin tema confrence-nya kalo gak salah menyinggung soal anak juga...
    udah gak terlalu kangen, mbak... kemarin udah keabisan pulsa ngobrolnya,hehehe... charge-nya baru mulai tanggal 28... hiks...masih lama nih... padahal udah low bat,hehehe...

    ReplyDelete
  6. Iya mbak Kristin. Saya di Jakarta, mas Riza di Semarang.
    sebetulnya, kalo masalah pencegahan HIV/AIDS tidak segera diatasi di tahun 2008, maka pencegahan HIV/AIDS di Indonesia gak bisa ditangani karena penyebarannya sangat cepat.
    Petinggi-petinggi masih melihat HIV/AIDS masih berhubungan dengan masalah moral, bukan masalah kesehatan.
    Sementara, kalo mereka mengangkat masalah ini, mereka bakalan gak kepilih lagi karena masyarakat Indo mayoritas juga tidak melihat HIV/AIDS sebagai masalah kesehatan... Susah ya...

    ReplyDelete